©istimewa
Oleh: Abdurrahman Wahid
Ketika penulis memberikan ceramah
di KSG (Kennedy School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa Universitas
Harvard, akhir September 2002 ini, ada pertanyaan dari seorang mahasiswa
pascasarjana asal Singapura: mengapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis
menjawab, bahwa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin Singapura,
yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah Air kita.
Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan bahwa “Muslim garis keras”
akan memerintah Indonesia dalam waktu 50 tahun lagi.
Penulis menyatakan melalui
jawaban lisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indonesia yang
masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak perlu mendengarkan pendapat
kedua orang pemimpin Singapura tentang Islam di negeri ini, karena mereka tidak
tahu apa-apa tentang agama tersebut.
Jawaban penulis ini, menunjuk
pada sebuah perkembangan penting di negeri kita. Karena sebelumnya, para
pemimpin kita di masa lampau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singapura,
lalu mereka berada pada posisi bergantung pada ekonomi Singapura. Karena itu,
timbulah arogansi di kalangan sementara tokoh negeri itu. Dari arogansi ini,
lalu timbul sikap mementingkan pihak yang tidak penting, dan memberikan
penilaian yang terlalu tinggi terhadap mereka. Termasuk dalam sikap ini,
pandangan sangat merendahkan terhadap kaum Sunni tradisionalis seperti yang ada
di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Selain itu, karena penulis tidak
mau menggunakan kekerasan untuk mempertahankan jabatan negara, sebagai presiden
yang berfungsi menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan,
sikap itu dianggap mereka sebagai kelemahan. Mereka tidak
percaya, bahwa demokrasi melalui pemilihan umum akan memberikan
penilaiannya sendiri. Apalagi karena memang para tokoh Singapura itu tidak
percaya pada demokrasi dan memperlakukannya secara manipulatif.
Begitulah pandangan seorang tokoh
yang dianggap sudah mendunia, padahal postulat-postulat yang digunakannya hanya
berasal dari kalangan elitis belaka. Tokoh tersebut, tidak pernah menyadari
bahwa dunia baru sedang menggeliat, bangun dari tidurnya selama berabad-abad.
Dunia baru itu mengembangkan postulat-postulat dan premis-premisnya sendiri,
yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan
semua pihak. Termasuk di dalamnya, kaum Muslimin moderat yang sanggup
mempertahankan keyakinan agama mereka, sambil menyerap hal-hal baik dari
kemajuan pengetahuan dan teknologi modern.
Jelaslah dari uraian di atas,
penulis tetap menganggap penting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura,
namun penulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keterbatasannya
sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh mereka terhadap
Indonesia dan Islam harus dihilangkan, jika diinginkan tetap ada hubungan baik
antara kedua negara.
Penulis sendiri sangat menghargai
kemampuan bangsa Singapura untuk maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai
atas kerugian bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana
mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai dengan sungguh-sungguh
upaya bangsa-bangsa sekitar untuk maju dengan cara mereka sendiri.
Sikap memandang rendah bangsa dan
negara lain —betapa canggihnya sekalipun ia dibungkus—, tetap akan tampak dalam
jangka panjang. Inilah yang membuat orang-orang seperti penulis berbeda
pandangan dari tokoh-tokoh arogan Singapura itu. Walaupun penulis berbeda
pandangan dari tokoh-tokoh tersebut, namun ia tidak memusuhi bangsa
Singapura. Sebagai penganut paham non-hegemonik hubungan internasional, penulis
sangat menghargai bangsa Singapura.
Tetapi ini tidak berarti penulis
menganggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara kita. Tentu
saja persoalan-persoalan yang dihadapi negara-kota (city state)
—yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama dengan masalah-masalah yang
dihadapi negara-bangsa (nation state) seperti Indonesia, yang
memiliki lebih dari 200 juta penduduk dan memiliki wilayah ribuan
kilometer.
Dengan sendirinya, para pemimpin
negara kita harus memiliki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang
akan melahirkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai masalah
dalam menghadapi bermacam-macam sikap, termasuk arogansi tokoh-tokoh negara
lain sekecil Singapura itu.
Penulis teringat ungkapan CEO (Chief
Excutive Officer), pejabat eksekutif tertinggi General Motors, beberapa
puluh tahun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang baik bagi
perusahaan tersebut, juga baik bagi Amerika Serikat, tidak berlaku dalam
hubungan internasional antara Indonesia dan Singapura.
Jelaslah dengan demikian, apa
yang baik bagi Singapura, belum tentu baik bagi Indonesia. Sekarang saja,
ketika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah berfungsi, Singapura
sudah kewalahan menarik para pembeli kita. Demikian juga, hotel-hotel
mereka yang dahulu memanfaatkan konsumen dari negara kita, sekarang juga
dibuat pusing oleh sulitnya menarik para pembeli bangsa kita.
Bangsa Singapura harus menyadari,
pola hubungan berketergantungan antara negara mereka dengan
Indonesia-Malaysia-Thailand-Brunei Darussalam, adalah pola hubungan tidak
normal, yang pada suatu ketika akan kontraproduktif dan merugikan Singapura
sendiri. Ini berarti, sikap arogan terhadap bangsa-bangsa dan negara-negara
sekitar, haruslah diakhiri.
Hubungan baru harus segera dibuat
atas dasar saling penghormatan dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh
rintangan. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN sudah berpindah
dari kawasan selatan ke kawasan utara persekutuan tersebut. Proyek Delta Mekong
yang melibatkan Thailand-Kambodia-Vietnam-Laos dan Myanmar merupakan titik baru
ekonomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran maupun penerbangan
BIMP-EAGA¹ (Filipina-Brunei-Malaysia-Indonesia dan kawasan pengembangan ASEAN
Timur) masih tersendat-sendat.
Kesadaran bersama ini mengambil
bentuk bermacam-macam. Indonesia, umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan
samudera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang mengganggu
negara-negara tetangga, adalah antara lain dengan mempertimbangkan usulan Ir.
Erna Witoelar agar kelompok-kelompok masyarakat memiliki dan mengelola
daerah-daerah pinggiran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam memelihara
kelebatan hutan, karena ditakutkan akan merembet ke kawasan yang mereka miliki.
Juga, kelestarian sumber-sumber
alam, seperti batu-bara, minyak bumi, gas alam serta barang tambang lainnya,
akan membawa perubahan besar-besaran dalam mengelola ekonomi di masa depan. Di
sini yang dipentingkan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat
kebanyakan, agar mereka turut bertanggungjawab atas kelestarian sumber-sumber
alam tersebut.
Ini semua berarti, Indonesia akan
membuka diri terhadap masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat,
hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangganya, atas dasar prinsip saling
menghormati, akan menjadi lancar dan mendorong stabilitas kawasan. Dan, hal itu
berarti harus ada penyeimbangan kepentingan nasional masing-masing negara, di
satu sisi dan kepentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya
sendiri, di sisi lain.[]
Repost from : http://santrigusdur.com/2016/08/pertentangan-bukanlah-permusuhan/